Please input your name and email

Name
Email

News

Mar 25, 2019

Perlu Percepat Bahas Revisi UU Migas

Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) jalan di tempat. Walaupun revisi sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010 lalu, sampai saat ini perkembangan revisi belum menunjukkan arah yang jelas.

Kejelasan arah sebenarnya sudah sempat terlihat September 2018 lalu, saat 10 fraksi di DPR RI melakukan harmonisasi revisi uu tersebut. Mereka menyetujui beberapa poin penting yang terdapat di dalam draf RUU Migas.

Salah satu poin adalah Badan Usaha Khusus (BUK) migas. Di dalam pasal 43 draf RUU Migas yang diterima CNNIndonesia.com, BUK Migas merupakan badan yang sedianya mengatur dan mengendalikan kegiatan hulu dan hilir migas.


Dengan kata lain, fungsi yang tadinya dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) akan dilebur menjadi satu. Kendati demikian, bukan berarti posisi BPH Migas dibubarkan.

Di dalam pasal 48 draf tersebut, BPH Migas masih berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan, penyediaan, dan mendistribusikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas bumi melalui pipa. Hanya saja belakangan, pemerintah menolak usulan tersebut.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan pemerintah masih kukuh menginginkan pemisahan antara regulator hulu dan hilir migas. Sikap pemerintah tersebut sudah disertakan ke dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah terkait RUU Migas.

"Mengenai organisasi di hulu nanti akan seperti apa? Hilir seperti apa? Pembahasan kami masih di situ," jelas Djoko beberapa waktu lalu.

Seharusnya, DIM terkait RUU Migas rampung 18 Januari lalu dan harus diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara sebelum dikembalikan ke DPR. Pembahasan dengan badan legislatif DPR terkait RUU Migas dijadwalkan dimulai awal Februari mendatang.

Untuk mempersiapkan diri dalam pembahasan tersebut, Presiden Joko Widodo, Rabu (23/1) kemarin, mengumpulkan sebagian jajaran kabinetnya untuk menajamkan DIM RUU Migas. Di dalam pembukaannya, Jokowi menekankan bahwa revisi UU Migas nantinya tidak bertentangan dengan konstitusi.

Tapi sayangnya, sampai rapat selesai, tidak ada satu penjelasan pun yang diberikan pemerintah mengenai hasil rapat tersebut. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menunjuk Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk menjelaskan bahasan RUU Migas.

Hanya saja, Jonan diketahui justru keluar melalui pintu berbeda dan tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai hasil rapat. Terang saja, pemerintah berkutat banyak mengenai kelembagaan regulator hulu dan hilir migas. Sebab, hal itu memang menjadi alasan utama revisi uu yang sudah berumur 17 tahun tersebut.

Di dalam UU Migas, pembinaan dan pengawasan hulu migas berpindah tangan dari PT Pertamina (Persero) ke badan lain. Termasuk, kewenangan Pertamina sebelumnya yang bisa berkontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pun harus lenyap.

Setahun kemudian, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menjadi cikal bakal BP Migas. Hanya saja, selang beberapa tahun berlalu, keberadaan BP Migas dipertanyakan.

Sebanyak 42 pihak menggugat kehadiran BP Migas ke MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sebab, kehadiran BP Migas dianggap pro asing dan tidak mengutamakan kedaulatan negara.

Sebab, penggugat merasa BP Migas selalu memberikan pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Migas kepada perusahaan asing. Gugatan itu dikabulkan oleh MK.

Melalui putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, mahkamah membubarkan kehadiran BP Migas. Dengan keputusan tersebut, pengawasan dan pembinaan hulu migas dikembalikan MK kepada pemerintah.

Untuk menggantikan BP Migas, Presiden SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi membentuk SKK Migas.

Hanya saja, di dalam perpres tersebut, peran SKK Migas hanya sementara sampai UU Migas yang baru terbit. Makanya, RUU Migas harus cepat selesai agar ada kepastian hukum mengenai badan pengatur hulu dan hilir migas.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat bahwa masalah kelembagaan sudah terlalu lama dan perlu segera diakhiri. Penyelesaian harus segara dilakukan pemerintah.

Investor migas sudah menunggu revisi UU Migas demi mendapatkan kepastian hukum atas modal yang akan mereka tanamkan di Indonesia. Membiarkan investor berkontrak dengan SKK Migas, padahal lembaga tersebut sifatnya hanya sementara, bisa menimbulkan keraguan ke investor yang akhirnya membuat mereka enggan masuk ke Indonesia.

sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190124114646-85-363446/perlu-percepat-bahas-revisi-uu-migas

More News

Mar 25, 2019

Dirut Pertamina Mangkir Rapat, Komisi VII DPR Ancam Minta Mundur

Jakarta - Komisi VII DPR hari ini menggelar rapat dengan BPH Migas perusahaan Migas di antaranya PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tb... Read More...

Mar 25, 2019

Pertamina Turunkan Harga BBM Non Subsidi

PT Pertamina (Persero) menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi mulai Sabtu (5/1) pukul 00.00 waktu setempat.

Penurunan harg... Read More...

Mar 25, 2019

Harga Minyak merosot, Dipicu Ekonomi Global Loyo

Harga minyak mentah dunia merosot sepanjang pekan lalu, dipicu oleh sentimen negatif proyeksi pelemahan ekonomi global. Hal itu dianggap dapat mene... Read More...